Selasa, 10 Februari 2009

ISLAM DAN KEKERASAN

Dunia Islam saat ini sering diwarnai dengan kekerasan, komunitas muslim hampir di seluruh bagian dunia ter-expose dengan kekerasan didalamnya dari dunia paling timur di Afrika, Asia, dan bahkan Eropa. Kita melihat kekerasan yang sering diasosiasikan dengan konflik fisik, perang dan terorisme terjadi di Sudan dan Nigeria dimana terjadi konflik antara muslim dan Kristen, di Pakistan dengan konflik perebutan kekuasaan para elite politiknya yang tiada akhir sampai saat ini, di Indonesia menarik perhatian dunia dengan serangkaian kasus bom seperti: Bali I dan II dan JW. Marriot, dan kelompok Abu Sayyap and MILF yang meneror daerah selatan Philippina, serta di negara-negara ex- Uni soviet seperti Chechnya and Russia yang selalu di bayangi oleh gerombolan Chechen. Banyak lagi komunitas-komunitas muslim lain yang intensitas konfliknya tidak juga mereda, seperti di Afganistan, Irak, dan Palestina .

Sangatlah absurd untuk menganalisa sekian banyak kasus konflik di dunia Islam diatas dengan satu jawaban karena setiap konflik kekerasan mempunyai motif dan latar belakang yang berbeda. Jadi untuk mengatakan bahwa Islam adalah kekerasan bukanlah suatu kesimpulan yang tepat untuk semua kejadian kekerasan tersebut. Akan tetapi kedekatan umat Islam dengan konflik baik dalam internal muslim sendiri atau dengan pemeluk agama lain menyebabkan legitimasi asumsi global akan kedekatan Islam dengan kekerasan. Lalu bagaimana reaksi umat Islam terhadap anggapan ini?. Untuk mengevaluasi ini pelu kiranya kita telaah ajaran Islam sendiri tentang konsep kekerasan. Kekerasan yang dikaji di sini adalah kekerasan ynag berbentuk konflik fisik baik internal muslim maupun dengan non-muslim bukan term-term kekerasan lain misalnya kekerasan dalam rumah tangga. Diakhir kajian ini saya juga sedikit akan mengomentari kasus-kasus kekerasan yang kerap kali terjadi di Indonesia akhir-kahir ini.

Kekerasan dalam Islam

Tak disangkal bahwa beberapa ayat Al-Qur’an menyebut tentang kewajiban seorang muslim untuk berjihad mengangkat senjata atau berperang. Sedikitnya ada 20 ayat yang sering dijadikan landasan untuk mengangkat senjata atau berperang bagi seornag muslim. Ayat-ayat tersebut terdapat dalam Surat: Al-Baqarah (2): 190-193, 216, 224, Ali Imran (3): 157-158, 169, 195, An-Nisa (4): 101, 74-75, 89, 95, Al-Maidah (5): 36, 54, Al-Anfal (8): 12-17, 59-60, 65, At-Taubah (9): 5, 14, 29, Muhammad (47): 4, dan Ash-Shaff (61): 4.

Al Baqarah: 190

“ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Berdasarkan banyaknya ayat yang menganjurkan untuk berperang, para orientalist mengasumsikan bahwa Islam mendukung kekerasan atau perang. Mungkin, jika ditinjau dari beberapa ayat diatas bisa diasumsikan kedekatan ajaran Islam dengan kekerasan atau perang tetapi di lain sisi juga Islam menyuruh untuk menegakkan perdamaian di muka bumi seperti pada ajaran untuk bersabar (Qur’an 39: 10) dan menghindari perbuatan fasad kerusakan (Qur’an 2: 205). Lebih dari itu, kata Islam sendiri secara etymology mengandung arti damai, selamat, aman, dan penyerahan diri. Karena itu dengan jelas Al-Qur’an menyatakan Muhammad (baca: Islam) diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘alamin). Karena itu apapun bentuk perusakan di bumi ini tidaklah sesuai dengan nilai-nilai rahmatan dalam Islam itu sendiri.

Lalu mengapa kekerasan tetap saja terjadi? Menurut saya, sedikitnya ada tiga psychological forces yang mendorong terjadinya kekerasan yang terjadi pada umat Islam:

1. Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kekuatan besar yang saling berlawanan. Disatu sisi manusia mempunyai ‘ego’ dan di sisi lain manusia di anugerahi ‘kesadaran’.

Yusuf: 53

Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Wahiduddin Khan (n.d.) menjelaskan bahwa kekerasan muncul akibat dominantnya ego manusia; sedangkan, perdamaian adalah hasil dari kesadaran manusia untuk berintrospeksi diri dan penghargaan diri.

2. Klaim akan agama yang paling benar pada setiap agama, secara langsung atau tidak, bisa menyebabkan kurangnya penekanan akan toleransi pada agama lain. Ayat Al-Qur’an: “Innaddiina ‘indallahil islam” dan “wama yabtaghi ghairal islami diinan falaa yuqbala minallahi…” adalah deklarasi akan satu-satunya agama yang diakui oleh Allah itu semata hanya Islam. Pada sebagian umat Islam menginterpretasikan ayat ini secara kaku sehingga menyebabkan kehidupan keberagamaan menjadi kurang harmonis. Padahal pada ayat lain Allah juga menjelaskan bahwa dalam hal beragama Allah memberi kebebasan bagi pemeluk agama lain (laa ikraaha fiddiin).

3. Pemahaman terhadap ayat dan hadits secara partial menyebabkan sempitnya sudut pandang terhadap ajaran Islam itu sendiri. Misalnya, pemahaman terhadap hadits: ‘man ra’a munkaran fal yughayir biyadihi, wainlam yastati’ fabilisanihi, wainlam yastati’ fabiqalbihi, wazalika adh’aful iman’. Keyakinan bahwa derajat iman paling tinggi dalam hadits tersebut adalah ketika ada keberanian untuk merubah suatu kemunkaran dengan ‘tangan’ atau dengan kegiatan fisik. Maka jalan yang dilakukan adalah menghentikan satu kemunkaran dengan aksi fisik atau bahkan kekerasan. Hal ini tentu saja membiaskan konsep dasar dakwah dalam Islam yang menonjolkan hikmah (kebijaksanaan) dan mauidzah hasanah (nasihat-nasihat kebajikan)-(ud’u ilaa sabili rabbika bilhikmati wal mau idzhah hasanah).

Dalam sejarah Islam membuktikan bahwa motivasi terjadinya kekerasan atau perang beragam. Pada jaman Nabi Muhammad SAW. peperangan terjadi dengan tujuan pertahanan diri dari serangan luar, kesetaraan, dan keadilan ekonomi. Beberapa orientalist mengatakan bahwa sepanjang kenabiannya (23 tahun), Muhammad melakukan sedikitnya 80 kali peperangan. Wahiduddin Khan (n.d.) menyangkal asumsi ini dan menyatakan pada kenyataannya bahwa Nabi sepanjang kenabiannya melakukan perang hanya tiga kali, yaitu: Badr, Uhud, dan Hunayn. Jadi pada dasarnya Nabi sendiri berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan perdamaian karena ia berupaya untuk sebisa mungkin menghindari peperangan.

Pada jaman Khulafa al-Rasyidin,motivasi terjadinya peperangan mulai meluas. Pada jaman Abu Bakar, perang pada dasarnya dilakukan untuk menegakkan ajaran Islam dan ekoonomi seperti upaya memerangi pembangkang yang tidak mau membayar zakat. Tujuan perang di masa Umar bin Khattab mulai melebar karena ia berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaan Islam di semenanjung Arabia. Sementara dua khalifah terakhir sibuk mengurusi perebutan kekuasaan diantara mereka dan pengikutnya.

Kekerasan dalam bentuk peperangan berlanjut ketika dua keluarga besar Islam muncul dalam sejarah. Dinasti Abbasiyah dan Umayyah adalah dua kekuatan besar Islam yang dalam sejarahnya banyak melakukan perang untuk perluasan wilayah Islam dan pertahanan wilayah Islam itu sendiri. Menurut saya, kenyataan ini bukanlah hal yang ‘luar biasa’ dalam artian bahwa pada jaman tersebut peradaban masih didominasi oleh kekuatan senjata. Jadi perang yang dilakukan oleh umat Islam tidaklah anomaly dari peradaban yang berlaku pada saat itu. Terbukti pada jaman selanjutnya antara Islam dan dan penganut agama Kristen melakukan perang yang sangat lama hampir satu abad ketika terjadinya Perang Salib.

Kedekatan potensi kekerasan dala Islam sering kali muncul karena kesalahan interprestasi akan kata jihad. Di bawah ini akan kita bahas sedikit tentnag kata jihad itu sendiri.

Jihad

Kata jihad berarti: berusaha, berjuang, dan berperang. Akan tetapi makna jihad sering mejadi sempit pada arti yang terakhir atau ‘perang’ sehingga panggilan untuk berjihad sering diartikan panggilan untuk berperang. Tak dapat dinafikan bahwa Al-Qur’an memang menyuruh umat Islam untuk mengangkat senjata pada surat al-Hajj (22): 39.

“Diizinkan (berperang) bagi orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Maha Kuasa menolong mereka itu.”

Dalam hal ini Al-Qur’an mengajarkan bahwa setidak ada dua tujuan utama untuk berjihad atau perang, yaitu: pertahanan diri-self defense (9: 13) dan perlawanan terhadap penekanan-protection from oppression (2: 190-195) (Badawi 2006; Khan n.d.). Jadi tidaklah seorang muslim berangkat mengangkat senjata untuk berperang atas nama Islam kecuali demi dua tujuan kuat diatas.

Akan tetapi Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa jihad tidak hanya memerangi orang lain. Dalam hal memerangi diri sendiri (jihadun nafs) juga termasuk kategori jihad. Dr. Jamal Badawi (2006) mengatakan bahwa Al-Qur’an surat Al-Hajj: 77-78 berisi anjuran jihadun nafs. Jihadun nafs berarti perjuangan melawan syaitan dan kelemahan-kelemahan diri sendiri (self purification).

Jadi pemaknaan yang sempit terhadap kata jihad menyebabkan pembiasan kata jihad dalam kehidupan umat Islam itu sendiri. Dalam konteks ini perang sering diartikan dengan membunuh orang non-muslim meskipun dengan cara membunuh diri sendiri (baca: bom bunuh diri). Bukankah al-Qur’an juga menyuruh kita untuk menjaga diri sendiri dari kerusakan diri kita sendiri (walaa tulkuu bi aidiikum ila attahlukah).

Islam dan kekerasan di Indonesia

Tak dapat dipungkiri bahwa kejadian 11 September 2001 merupakan salah satu pemicu maraknya kekerasan di dunia Islam, khususnya di Indonesia. beberapa hal yang menjadi faktor dominant terhadap munculnya kekerasan pada umat Islam Indonesia adalah: Pertama, kemarahan atas kebijakan luar negeri Amerika Serikat (Esposito, dikutip oleh Ahnaf n.d.), sebagai ‘polisi dunia’, yang tidak seimbang dan bahkan double standard. Hal ini tentu saja memancing semangat ‘jihad’ kelompok tertentu sehingga mereka me-response dengan tindakan-tindakan radikal dan keras. Kedua, politik keterbukaan sebagai konsekuensi dari jatuhnya Suharto menyebabkan menjamurnya kelompok-kelompok garis keras dalam Islam. Abuza (2007, p. 1) mengatakan bahwa di fase reformasi ini, Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dalam pertumbuhan civil society namun di sisi lain muncul pula “uncivil” society. Apakah kelompok radikal Islam ini adalah kelompok “uncivil” society seperti yang dimaksud Abuza? Bila barometer civil society yang dimaksud adalah masyarakat yang menghormati hak-hak azasi manusia dan kebebasan individu yang berdasar pada Piagam PBB maka tidak bisa dingkari kelompok ini termasuk didalamnya tetapi mungkin akan berbeda pandangan dengan platform kelompok-kelompok garis keras tersebut.. Ketiga, pendiskriminasian berita tentang Islam pada media massa menyebabkan pembentukan opini yang tidak seimbang tentang Islam. Hal ini tentu saja menyulut sentiment-sentiment emosionil umat Islam, seperti pada kasus tentang kartun Nabi Muhammad.

Kiranya gambaran umum tentang Islam dan kekerasan di Indonesia secara singkat bisa kita lihat diatas. Tetapi setiap kasus kekerasan baik etnis dan agama akan sangat tepat untuk dijawab dengan analisa kasuistik, seperti di Maluku, Poso, Ahmadiyah, dan sebagainya.

Senin, 09 Februari 2009

Feel Fiqih Social

Feel Fiqih Social

KH. MA. Sahal Mahfudh, LKiS, March 2007 - cet. iv, viii + 384

Source: www.nu.or.id

KH. MA. Sahal Mahfudh (Rais Aam PBNU) is a specialist fiqih (Islamic law). Kepiawaiannya in the field of Islamic law that there is no doubt. Since young, as if he already terprogram for the ushul fiqih science, Arabic language, and social science.

This fact can not be clearly separated from the family. Kiai Sahal was born of a family of boarding, on 17 December 1937. Therefore, small sedari he grew up and educated in the spirit of maintaining control of science degree-traditional religious sciences. Moreover, under his father's own upbringing, Kiai Mahfudh Salam, who is also a powerful Kiai, cousin and brother deceased Rais Aam NU, Kiai Syansuri Bisri.

After that, then Sahal Kiai Kiai nyantri to Muhajir in Kediri and Al-Zubair Sarang Kiai, Lasem. Found himself in the tradition of absolute loyalty to the law in the books fiqih and total harmony with the moral ideal that demanded of traditional scholars. Or in term boarding, have the spirit tafaqquh (deepen knowledge of religious law) and the spirit tawarru '(licentious noble).

No wonder if Kiai Sahal-term borrowing Gus Dur-ago 'to cock' since a young age. Not even 40 years of age, has shown itself powerful ability in the forums fiqih. Evidenced in the various council Bahtsu Al-Masail held three monthly Syuriah NU Central Java, ai already active in it.

Sejatinya this book is a summary of some (only) any posts Kiai Sahal into the various pages in the newspapers, scientific journals, papers and seminars. In many instances, Kiai Sahal always invite the community to understand the contextual fiqih. According to him, the assumption formalistik against fiqih is still a latent problem, not so rare-fiqh in this book is considered a yellow-second after the holy book of Al-Qur'an that must be treated as the norm can not be dogmatic and inviolable. Therefore, dig fiqih the nuances of social order is very urgent. What is social fiqih?

In short can be defined, fiqih social paradigm based on the belief that fiqih must be read in context and the solution needs three kinds of men, the primary needs (dharuriyah), the secondary needs (hajjiyah), and tertiary needs (tahsiniyah). Fiqih not just as a social tool to view every issue from the eyes of black and white glass, as I view fiqih we find that common, but more fiqih social fiqih place as a social paradigm pemaknaan.

As the results that have been formulated from a series of halaqah work with NU Rabithah Ma'ahid Islamiah (RMI) and The Development of Pesantren and Society (P3M), social fiqih has five basic characteristics that prominent: First, the interpretation texts fiqih contextually. Second, the pattern changes bermadzhab, from the textual bermadzhab (qauli) bermadzhab to the metodologis (manhaji). Third, verification fundamental teachings which the principal (ushul) and where the teachings of the branches (furu '). Fourth, fiqih are presented as social ethics, not a positive state law. Fifth, the introduction metodologis philosophical, mainly related to cultural and social.

In view of Kiai Sahal, the idea is not too excessive. Not yet the understanding of contextual meaning and refuse to leave the fiqih absolute. Thus with such an understanding, all aspects of behavior kehidupoan will be able terjiwai by fiqih the conceptual and does not deviate from the rail fiqih itself. At least, the book fair will not only be fancied by the santri, but also by anyone who is interested in the reference Islamic thought.

Can not be denied, this idea appears along the rising anarchy pemaknaan social-politics in Indonesia. Fiqih thought, would not want to, and the shift: fiqih as a paradigm of truth ortodoksi become pemaknaan social paradigm. If the first subdue reality to the truth fiqih, then the second fiqih use as a counter discourse in the wilderness pemaknaan ongoing. If the first show of black and white character in respect of reality, then the second show wataknya the nuances, and sometimes in the complex reality.

Nah, Kiai Sahal social fiqih dig it out of real struggle between religious truth and social reality that is still lame. A real test for the relevance of religion in the life of an actual order terbentuknya character fiqih the social nuances.

Rabu, 28 Januari 2009

Kekuatan Kata

Mengendalikan Kekuatan Kata-kata


Manusia hidup pasti melakukan berbagai kegiatan: berbicara, bekerja, mendengar, menulis, membaca, dan juga berpikir. Semua kegiatan ini tidak bisa terlepas dari kata-kata. Tanpa kata-kata, tak ada yang bisa kita bicarakan.

Tanpa baca. Tanpa kata-kata, tak ada yang bisa kita mengerti. Tanpa kata-kata, tak bisa kita berkarya. Kata-kata memiliki kekuatan yang dahsyat, karena tanpa kata-kata, kita layaknya seperti orang mati saja.

Pengelola rubrik:


Aribowo Prijosaksono, Roy Sembel, dan Tim ManDiri Aribowo Prijosaksono email:aribowo_ps@hotmail.com dan Roy Sembel
http://www.roy-sembel.com adalah co-founder dan direktur The Indonesia Learning Institute – INLINE http://www.inline.or.id, sebuah lembaga pembelajaran untuk para eksekutif dan profesional.

PEDANG BERMATA DUA

Kekuatan kata-kata adalah seperti pedang bermata dua. Jika digunakan dengan tidak tepat, akan membawa bencana. Sebaliknya, jika digunakan dengan tepat, dapat memberikan manfaat optimal bagi keuntungan kita.

Sehat atau Sakit

Jika seorang dokter mengatakan kepada pasien A bahwa penyakit sang pasien tidak bisa disembuhkan lagi, maka pasien A kemungkinan besar akan percaya pada kata-kata sang dokter. Akibatnya, ia tentunya akan menjadi sedih, depresi, dan kemudian putus asa. Ia juga mungkin tidak akan berupaya lagi untuk mencari pengobatan lain untuk menyembuhkan penyakitnya. Berbagai riset medis membuktikan bahwa semangat yang patah, dan perasaan yang hancur akan memperburuk kesehatan seseorang. Inilah yang kemungkinan besar akan terjadi pada pasien A.
Tetapi jika pada pasien B yang memiliki penyakit yang serupa dengan kategori stadium yang serupa pula, sang dokter mengatakan bahwa penyakit pasien B memang pada tahap ini cukup serius namun masih ada harapan untuk disembuhkan; jika sang dokter juga menceritakan tentang berbagai kasus sukses pasien yang berhasil sembuh, apa yang akan terjadi pada pasien B? Kemungkinan pasien B tetap memiliki semangat juang untuk sembuh dan ia akan berupaya dengan berbagai cara untuk meraih kesembuhan tersebut. Semangat yang tinggi untuk sembuh, disertai upaya yang serius dan tekun akan memberikan kemungkinan yang jauh lebih besar bagi pasien B untuk sembuh.

Bisa atau Tidak Bisa


Kata-kata juga bisa menentukan apakah kita bisa sukses atau gagal. Jika kita mengatakan pada diri kita sendiri bahwa kita tidak bisa melakukan suatu pekerjaan, maka bisa dipastikan kita memang tidak akan bisa melakukan pekerjaan tersebut. Kata-kata TIDAK BISA yang kita ucapkan, yang kita dengar, ataupun yang kita pikirkan akan menutup semua kemungkinan untuk melakukan pekerjaan yang sudah divonis tidak bisa kita laksanakan. Dengan ungkapan TIDAK BISA ini, semua kemungkinan tidak dicoba lagi, dan semua usaha dihentikan.
Tapi, sebaliknya, jika kita mengatakan pada diri kita sendiri atau pada anggota tim kita bahwa suatu pekerjaan BISA kita laksanakan walaupun harus melalui berbagai tantangan. Ungkapan BISA ini memiliki kekuatan yang dahsyat untuk mewujudkan keberhasilan. Ungkapan BISA memacu kreativitas untuk mendapatkan berbagai alternatif strategi, memompa semangat untuk mencoba terus walaupun pada awalnya terlihat sulit, dan mendorong kita melakukan berbagai upaya untuk mengatasi rintangan yang kita hadapi. Akibatnya? Kita memang akan BISA berhasil menyelesaikan perkerjaan yang kita tekuni.


KENDALIKAN KEKUATAN KATA-KATA



Setelah kita mengetahui bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang dahsyat, tentunya kita ingin memanfaatkan kekuatan ini secara optimal agar membawa kebaikan bagi kita. Ada lima strategi yang perlu kita perhatikan dalam mengendalikan kekuatan kata-kata agar memberikan pengaruh yang positif bagi kita.


Bicara Positif


Ilustrasi berikut dapat menggambarkan bagaimana kata-kata positif yang diucapkan seseorang dapat melepaskannya dari masalah. Pada suatu malam, seorang raja bermimpi aneh. Dalam mimpi ini gigi sang raja tanggal semuanya. Keesokan harinya ia memanggil orang pintar yang dapat menginterpretasikan mimpi tersebut. Orang pintar pertama yang dipanggil berkata kepada raja, ”Paduka Raja, mimpi Paduka berarti bahwa seluruh keluarga dan kerabat dekat Paduka akan meninggal dunia.” Mendengar kabar yang buruk ini, emosi sang raja meluap karena marah. Sang raja memerintahkan pada pengawalnya untuk memenjarakan orang pintar pertama tersebut.
Kemudian Raja memanggil orang kedua untuk mengartikan mimpi aneh sang raja. Orang kedua ini mengatakan pada raja, ”Wahai Paduka Raja, mimpi Paduka bertanda baik bagi Paduka. Mimpi ini berarti bahwa Paduka Raja akan dianugerahi umur panjang, bahkan lebih panjang dari keluarga dan handai taulan terdekat Paduka.” Mendengar berita baik yang disampaikan, sang Raja pun merasa senang. Kemudian Raja menyuruh pengawalnya untuk memberikan sekotak emas kepada orang pintar kedua ini. Cerita ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kedua peramal tersebut menyampaikan hal yang sama yang dikemas dengan pilihan kata-kata yang berbeda. Dari ilustrasi ini kita bisa belajar untuk berhati-hati dalam berbicara, yaitu untuk memilih kata-kata positif dalam berbicara.


Dengar Positif


Seorang anak kerap kali mendengar orang tuanya berkata, ”Kamu memang anak bodoh, anak bandel, dan tidak tau diuntung. Kamu pasti tidak akan berhasil karena kamu memang bodoh, bandel, dan sering menyusahkan orang tua.” Lambat laun, jika kata-kata ini sering diulang-ulang, maka sang anak akan benar-benar percaya bahwa ia bodoh, bandel, dan sering menyusahkan orang tua. Ia pun akan terdorong untuk malas belajar, dan melakukan hal-hal yang dianggap ”bandel dan menyusahkan orang tua” seperti yang kata-kata yang didengarnya.

Hal ini tidak hanya terjadi pada anak-anak. Orang dewasa pun bisa terpengaruh pada apa yang mereka dengar. Jadi, apa yang harus dilakukan agar kita mendapat pengaruh positif? Jika kita sulit mempengaruhi orang-orang di sekitar kita untuk berbicara positif, maka yang bisa kita lakukan adalah berteman dengan orang-orang yang suka berbicara positif. Dengan berteman dengan orang-orang seperti ini, maka kita terpacu untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang positif, yang akhirnya akan mempengaruhi sikap, tindakan, dan keputusan yang kita lakukan dalam hidup kita ini.

Baca Positif


Bacaan adalah salah satu sumber makanan bagi pikiran kita. Jika kita banyak mengkonsumsi bacaan yang positif (misalnya: bacaan mengenai cara hidup sehat, biografi orang-orang sukses, ataupun strategi atau inovasi terbaru diberbagai bidang), maka pengetahuan kita terhadap topik yang kita baca bertambah. Pengetahuan ini seringkali membangkitkan keingin-tahuan kita untuk mencobanya. Misalnya kita baru membaca tentang cara hemat berpromosi, wajar saja jika kita segera ingin mempraktikkan apa yang kita baca. Atau kita baru selesai membaca strategi baru memenangkan persaingan di masa krisis, tentunya jika kita memang menghadapi kondisi persaingan di masa krisis dan dituntut untuk menang, kita akan mencoba strategi tersebut. Jadi, untuk mengendalikan kekuatan kata-kata, kita perlu juga berhati-hati dalam memilih buku-buku, artikel yang kita baca.

Pikir Positif


Pernahkan Anda menyanyikan sebuah lagu lama di kepala Anda, kemudian Anda mendengar lagu tersebut dinyanyikan di radio atau televisi? Pernahkah Anda berpikir serius untuk bertemu dengan seorang teman lama, kemudian Anda akhirnya memang berbicara dengan orang tersebut di telepon? Pernahkah Anda berpikir untuk membaca sebuah buku, kemudian seseorang meminjamkan buku tersebut pada Anda? Pernahkah Anda berpikir untuk memakan kue kesayangan Anda, beberapa hari kemudian ada orang yang membelikan atau membawakan kue tersebut untuk Anda? Jika memang Anda pernah mengalami beberapa dari kejadian tersebut di atas atau mengalami kejadian serupa, mungkin Anda mengira semua ini adalah kebetulan saja.
Andrew Matthews dalam bukunya Being Happy mengungkapkan bahwa pikiran kita seringkali bertindak sebagai magnet yang ampuh untuk mengundang segala sesuatu yang kita pikirkan untuk terwujud. Pikiran kita ini akan menggerakkan seluruh bagian dari kita (fisik, emosi, dan semangat) untuk bergerak ke arah yang kita pikirkan. Jika kita memusatkan pikiran kita pada kegagalan pasti kita akan mengundang datangnya kegagalan. Sebaliknya, jika kita memusatkan pikiran kita untuk meraih sukses, pasti sukseslah yang akan kita temui. Jadi, jika kita ingin sukses, ingin sehat, ingin senang, mengapa tidak kita coba memusatkan pikiran kita untuk meraih hal-hal positif yang kita pikirkan?

Kehidupan manusia tidak terlepas dari kata-kata yang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kekuatan ini dapat kita kendalikan untuk memberikan manfaat bagi kita dengan berbicara, mendengar, membaca, dan berpikir positif. Jadi, selamat memilih dan menggunakan kata-kata positif agar meraih manfaat positif dari kekuatan kata-kata tersebut.

kata-kata, tak ada yang bisa kita tulis. Tanpa kata-kata, tak ada yang bisa kita

Tak cukup hanya dengan doa

Ada seseorang yang mendatangi saudaranya sesama muslim untuk mengadukan masalahnya. Sebenarnya ia bingung dan malu menyampaikan maksud kedatangannya, namun karena permasalahannya sudah sangat mendesak ia pun terpaksa mengutarakannya, itu pun dengan sangat hati-hati. “Kontrakan saya sudah mau habis, bagaimana menurut saudara?”, ia kehabisan ide untuk menyampaikan maksudnya lebih jelas.
“Ohh, saya kira sebaiknya saudara mencari kontrakan yang baru. Tempat tinggal yang sekarang nampaknya kurang baik untuk kesehatan seluruh anggota keluarga”, saran saudaranya itu.
Padahal, maksudnya bukan minta saran seperti itu, melainkan ia secara tidak langsung ingin meminta bantuan pinjaman uang untuk memerpanjang kontrakannya satu tahun atau setidaknya enam bulan ke depan. Perasaan tidak enak dan malu membuatnya bingung menyampaikan maksud hati yang sebenarnya.
Ia pun mencobanya kembali, “Usaha dagang saya sedang tidak bagus, bulan kemarin saja saya harus nombok dan terus merugi. Saya sudah kehabisan uang,” kali ini mulai lebih jelas.
Tapi, “Mungkin saudara belum benar-benar khusyuk dalam beribadah, belum serius dalam berdoa. Cobalah lebih banyak lagi menambah amalan-amalan sunnah, berdoalah lebih iba kepada Allah. Insya Allah, Dia akan lebih mendengar doa saudara. Tenang, saya saudaramu, saya juga akan mendoakan agar usahamu lancar dan berhasil,” rupanya masih belum nyambung.
Maksud ia mendatangi saudaranya itu sebenarnya sudah jelas untuk minta bantuan, bukan minta nasihat. Ia berharap saudaranya yang kelebihan harta dan memiliki beberapa bidang usaha itu mau memberinya modal usaha. Bukan doa yang dimintanya, padahal saudaranya itu memiliki sejumlah kontrakan, salah satu bidang usahanya.
Satu sisi, tidak ada yang salah dengan nasihat-nasihatnya. Mungkin betul saudaranya itu kurang dalam ibadahnya, jarang meminta kepada Allah. Tetapi bisa jadi sebaliknya, ada orang yang sudah benar-benar khusyuk dalam beribadah, dan tak melewatkan satu malam pun untuk berdoa dalam tahajjudnya, hanya saja Allah masih ingin menguji kesabarannya.
Faktanya, saat itu ia memerlukan bantuan saudaranya secara nyata. Bukan dalam bantuk doa dan nasihat. Entah itu sedekah atau pinjaman, karena memang itu yang benar-benar diharapkannya. Setelah memberi bantuan, terserah mau sebanyak apapun memberi nasihat, pasti akan didengarkan karena hatinya sudah sedikit tenang.
Orang yang tertimpa musibah dan mendapat kesulitan, sebaiknya tidak ditolong hanya dengan doa. Ringankan bebannya terlebih dulu, kemudian berilah ia nasihat kesabaran dan doakan agar ia bisa segera keluar dari kesulitannya. Sama halnya dengan saudara kita yang sedang sakit, ucapan “semoga lekas sembuh” memang sudah cukup sebagai bentuk perhatian. Namun bagi sebagian lain, kesembuhannya bisa lebih cepat dengan cara dikunjungi dan membawa sedikit buah tangan untuk menghiburnya. Bahkan, ada pula yang harus dibantu biaya perawatannya.

Memperlakukan orang lain dengan ketulusan

Ketulusan adalah sesuatu yang gemerlapan dan tembus pandang (transparan), dia tidak seharusnya mengandung unsur lain apa pun juga. Ketulusan juga merupakan semacam tindakan yang mulia. Jika motif ketulusan kita ini adalah berharap mendapat balasan ketulusan dari orang lain, maka tindakan itu sendiri merupakan tindakan yang kurang tulus.


Kebalikan dari ketulusan adalah kemunafikan


Karena suatu ketulusan, kadang bisa membuat keuntungan yang seharusnya kita peroleh berubah menjadi kerugian, walaupun demikian, ketulusan akan membuat lubuk hati kita yang terdalam mendapatkan suatu ketenteraman.

Sebaliknya, kepalsuan (kemunafikan), terkadang bisa membuat kita mendapatkan keuntungan atas kerugian orang lain, walaupun demikian, di dalam lubuk hati kita yang terdalam tidak akan bisa tenteram.


Ketulusan tidak perlu di gembar-gemborkan dengan orang lain


Jika orang lain bisa memahami ketulusan hati yang kita berikan, maka meskipun kita tidak mengatakannya, orang lain itu akan tahu. Jikalau orang lain tidak bisa memahami ketulusan hati kita, dan kita berusaha untuk menerangkan maka acapkali bisa membuat persoalan menjadi semakin runyam.

Kadang kala, kita tertipu oleh orang lain, saat itu kehidupan dengan gamblang akan memberitahukan kepada kita, “Apa dan bagaimana ketidak-tulusan itu.” Namun ia bukan hendak memberitahukan kita, “Harus mencampakkan ketulusan.”


Apa ketulusan itu?


Yang pertama adalah tidak menipu orang lain, yang kedua adalah jangan sampai ditipu oleh orang lain, jika kita bisa memegang kedua prinsip tersebut di atas, maka secara garis besar kita bisa menjadi seorang manusia yang mempunyai jiwa terbuka, berterus terang dan sekaligus penuh martabat.

Menjadi seorang manusia yang berhati tulus, kita akan merasakan sangat santai dalam jiwa dan raga, tak peduli apa pun yang terjadi. Dan seseorang yang munafik atau penuh dengan kepalsuan, dia acapkali akan merasakan kecapaian dalam batin, dipenuhi dengan kedengkian hati, selalu merasa tidak puas atas apa yang dimiliki.

Dengan selalu hidup dengan kesantaian hati, maka kita akan bisa terus-menerus dikelilingi oleh semacam suasana kegembiraan, dan dengan hidup yang kecapaian, kita akan terus-menerus diserang dan diselimuti oleh suasana hati yang kecewa, putus asa.

Ketulusan bagaikan air danau yang anggun berkilau. Tenteram, tidak mengejar nama dan kepentingan, dan indah. Kadang kala dia bisa mendapatkan serangan dari batu dan pasir, tetapi, dia akan mengandalkan kemampuannya untuk memurnikan diri sendiri, dan dengan cepat dia bisa membuat kotoran-kotoran itu mengendap, bisa tetap mempertahankan kecerahan wajahnya.

Seandainya saja, setiap orang di dunia ini masing-masing mau berusaha menjadi air danau yang anggun berkilau, dapat mempunyai sifat hati yang benar-benar tulus, tidak ego dan selalu berpikir demi orang lain, maka bisa kita bayangkan akan betapa indah dunia ini jadinya. (Mingxin.net/lin)

Kebahagiaan itu menjalar

Kebahagiaan itu menjalar, demikian yang dilaporkan para peneliti. Tim yang sama yang membuktikan penderita obesitas dan perokok yang tersebar dalam suatu jaringan telah menunjukkan bahwa semakin berbahagia orang yang Anda kenal, mungkin Anda sendiri akan semakin merasa bahagia.

Dan berhubungan dengan orang-orang yang berbahagia akan meningkatkan kebahagiaan seseorang, tulis mereka dalam British Medical Journal.

“Apa yang sedang kita hadapi adalah dorongan emosi,” kata Nicholas Christakis, seorang profesor dari sosiolog medis di Harvard Medical School di Boston, dalam suatu wawancara telepon. Christakis dan seorang ilmuwan politik di University of California, San Diego, bernama James Fowler, tengah memakai data dari 4,700 sukarelawan anak di Framingham Heart Study, penelitian kesehatan dalam skala besar di Framingham, Massachusetts, sejak 1948.

Mereka tengah menganalisa fakta-fakta berharga melalui penelusuran kembali lembar-lembar ijazah mulai 1971, mengikuti data kelahiran, perkawinan, kematian, dan perceraian. Sukarelawan juga memberikan daftar informasi kontak sahabat-sahabat terdekat, teman-teman kerja, dan tetangga mereka. Mereka mengukur kebahagiaan dengan menggunakan empat pertanyaan sederhana. “Mereka ditanya seberapa sering dalam satu minggu ini, pertama, saya menikmati hidup, dua, saya merasa bahagia, tiga, saya merasa penuh harapan mengenai masa depan, dan empat, saya merasa bahwa saya sama baiknya seperti orang lain,” kata Fowler. 60 persen orang dengan skor tinggi pada keempat pertanyaan tersebut dikategorikan ‘bahagia’, sedang sisanya dikategorikan pada ‘tidak bahagia’.

Koneksi kebahagiaan yang merata

Data menunjukkan, orang yang memiliki hubungan sosial baik itu teman, pasangan, tetangga, keluarga yang luas, juga merupakan orang yang paling berbahagia. “Setiap kebahagiaan ekstra yang dimiliki seseorang membuat Anda lebih berbahagia,” kata Christakis. “Bayangkan bila saya terhubung dengan Anda, dan Anda terhubung ke orang lain dan orang lain terhubung ke orang lain lagi. Ini seperti tenunan ras manusia, seperti selimut quilt (potongan-potongan kain yang dijahit menjadi selimut) Amerika.”

Masing-masing orang duduk dalam satu warna patch yang berbeda. “Bayangkan bila patch yang disini bahagia dan patch yang di sana tidak bahagia. Kebahagiaan Anda tergantung pada patch yang sedang berlangsung di sekeliling Anda,” lanjut Christakis. “Ini bukan hanya masalah antara orang bahagia yang berkaitan dengan orang bahagia lainnya, seperti yang mereka lakukan. Di atas dan di luar hal tersebut, ini sedang berlangsung suatu proses penjalaran.” Dan mereka menemukan bahwa kebahagiaan lebih menjalar dibandingkan ketidak-bahagiaan.

“Jika kontak sosial di sekitar Anda bahagia, hal itu akan meningkatkan kemungkinan Anda berbahagia sebesar 15 persen,” kata Fowler. “Teman dari seorang teman, atau teman dari pasangan atau saudara kandung, jika mereka bahagia, akan meningkatkan kesempatan Anda berbahagia sebesar 10 persen,” tambahnya. Kebahagiaan teman peringkat tiga-teman dari temannya seorang teman-akan meningkatkan kesempatan seseorang menjadi bahagia sebesar 6 persen. “Namun setiap ekstra ketidak-bahagiaan teman meningkatkan kemungkinan Anda merasa tak bahagia sebesar 7 persen,” jelas Fowler. Penemuan ini menarik, tetapi juga bermanfaat, lanjut Fowler.

“Diantara manfaat-manfaat lain, kebahagiaan telah menunjukkan pengaruh penting atas pengurangan angka kematian, pengurangan rasa sakit, dan meningkatkan fungsi jantung. Jadi pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kebahagiaan menyebar dapat membantu kami mempelajari bagaimana mempromosikan masyarakat yang lebih sehat,” sahutnya lagi.

Penelitian ini juga sesuai dengan data lain pada 1984 yang menunjukkan bahwa dengan memiliki tambahan uang sebesar US $ 5,000 (setara 57,5 juta rupiah) akan meningkatkan kesempatan seseorang menjadi lebih bahagia sekitar 2 persen. “Seorang teman yang berbahagia bernilai sekitar US $ 20,000 (setara 230 juta rupiah),” tutup Christakis. Timnya juga sedang meneliti penyebaran depresi, kesepian, dan kebiasaan mabuk. (Reuters/feb)

Selasa, 27 Januari 2009

Hidup itu indah, bagi orang yang merasa
Hidup itu susah...? tidak juga!
Hidup itu suatu perjuangan bagi orang yang mau berjuang
Hidup itu pengorbanan bagi orang yang mau berkorban
Hidup itu membingungkan...? tidak juga!
Hidup itu akan bermakna kalau kita jalani dengan kebaikan
Hidup itu indah kalau kita jalani dengan orang-orang yang kita cinta
Hidup itu ringan kalau kita selalu lapang dan tawakkal pada Tuhan YME
Hidup akan indah kalau kita orang-orang/teman di sekeliling kita
Hdup itu indah kalau kita jalani bersama teman, sahabat, keluarga dan orang yang kita cinta
Hidup juga akan lebih indah kala kita selalu berpegang pada ajaran agama dan norma-norma
Hidup akan lebih ringan jika kita selalu berlapang dada dalam segala hal
Dan hidup juga akan terasa indah jika setiap cobaan dab bencana kita anggap sebagai ujian-Nya
Itu adalah sebuah ungkapan menurut insan yang tiada perna sempurna ini...