Selasa, 10 Februari 2009

ISLAM DAN KEKERASAN

Dunia Islam saat ini sering diwarnai dengan kekerasan, komunitas muslim hampir di seluruh bagian dunia ter-expose dengan kekerasan didalamnya dari dunia paling timur di Afrika, Asia, dan bahkan Eropa. Kita melihat kekerasan yang sering diasosiasikan dengan konflik fisik, perang dan terorisme terjadi di Sudan dan Nigeria dimana terjadi konflik antara muslim dan Kristen, di Pakistan dengan konflik perebutan kekuasaan para elite politiknya yang tiada akhir sampai saat ini, di Indonesia menarik perhatian dunia dengan serangkaian kasus bom seperti: Bali I dan II dan JW. Marriot, dan kelompok Abu Sayyap and MILF yang meneror daerah selatan Philippina, serta di negara-negara ex- Uni soviet seperti Chechnya and Russia yang selalu di bayangi oleh gerombolan Chechen. Banyak lagi komunitas-komunitas muslim lain yang intensitas konfliknya tidak juga mereda, seperti di Afganistan, Irak, dan Palestina .

Sangatlah absurd untuk menganalisa sekian banyak kasus konflik di dunia Islam diatas dengan satu jawaban karena setiap konflik kekerasan mempunyai motif dan latar belakang yang berbeda. Jadi untuk mengatakan bahwa Islam adalah kekerasan bukanlah suatu kesimpulan yang tepat untuk semua kejadian kekerasan tersebut. Akan tetapi kedekatan umat Islam dengan konflik baik dalam internal muslim sendiri atau dengan pemeluk agama lain menyebabkan legitimasi asumsi global akan kedekatan Islam dengan kekerasan. Lalu bagaimana reaksi umat Islam terhadap anggapan ini?. Untuk mengevaluasi ini pelu kiranya kita telaah ajaran Islam sendiri tentang konsep kekerasan. Kekerasan yang dikaji di sini adalah kekerasan ynag berbentuk konflik fisik baik internal muslim maupun dengan non-muslim bukan term-term kekerasan lain misalnya kekerasan dalam rumah tangga. Diakhir kajian ini saya juga sedikit akan mengomentari kasus-kasus kekerasan yang kerap kali terjadi di Indonesia akhir-kahir ini.

Kekerasan dalam Islam

Tak disangkal bahwa beberapa ayat Al-Qur’an menyebut tentang kewajiban seorang muslim untuk berjihad mengangkat senjata atau berperang. Sedikitnya ada 20 ayat yang sering dijadikan landasan untuk mengangkat senjata atau berperang bagi seornag muslim. Ayat-ayat tersebut terdapat dalam Surat: Al-Baqarah (2): 190-193, 216, 224, Ali Imran (3): 157-158, 169, 195, An-Nisa (4): 101, 74-75, 89, 95, Al-Maidah (5): 36, 54, Al-Anfal (8): 12-17, 59-60, 65, At-Taubah (9): 5, 14, 29, Muhammad (47): 4, dan Ash-Shaff (61): 4.

Al Baqarah: 190

“ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Berdasarkan banyaknya ayat yang menganjurkan untuk berperang, para orientalist mengasumsikan bahwa Islam mendukung kekerasan atau perang. Mungkin, jika ditinjau dari beberapa ayat diatas bisa diasumsikan kedekatan ajaran Islam dengan kekerasan atau perang tetapi di lain sisi juga Islam menyuruh untuk menegakkan perdamaian di muka bumi seperti pada ajaran untuk bersabar (Qur’an 39: 10) dan menghindari perbuatan fasad kerusakan (Qur’an 2: 205). Lebih dari itu, kata Islam sendiri secara etymology mengandung arti damai, selamat, aman, dan penyerahan diri. Karena itu dengan jelas Al-Qur’an menyatakan Muhammad (baca: Islam) diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘alamin). Karena itu apapun bentuk perusakan di bumi ini tidaklah sesuai dengan nilai-nilai rahmatan dalam Islam itu sendiri.

Lalu mengapa kekerasan tetap saja terjadi? Menurut saya, sedikitnya ada tiga psychological forces yang mendorong terjadinya kekerasan yang terjadi pada umat Islam:

1. Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kekuatan besar yang saling berlawanan. Disatu sisi manusia mempunyai ‘ego’ dan di sisi lain manusia di anugerahi ‘kesadaran’.

Yusuf: 53

Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Wahiduddin Khan (n.d.) menjelaskan bahwa kekerasan muncul akibat dominantnya ego manusia; sedangkan, perdamaian adalah hasil dari kesadaran manusia untuk berintrospeksi diri dan penghargaan diri.

2. Klaim akan agama yang paling benar pada setiap agama, secara langsung atau tidak, bisa menyebabkan kurangnya penekanan akan toleransi pada agama lain. Ayat Al-Qur’an: “Innaddiina ‘indallahil islam” dan “wama yabtaghi ghairal islami diinan falaa yuqbala minallahi…” adalah deklarasi akan satu-satunya agama yang diakui oleh Allah itu semata hanya Islam. Pada sebagian umat Islam menginterpretasikan ayat ini secara kaku sehingga menyebabkan kehidupan keberagamaan menjadi kurang harmonis. Padahal pada ayat lain Allah juga menjelaskan bahwa dalam hal beragama Allah memberi kebebasan bagi pemeluk agama lain (laa ikraaha fiddiin).

3. Pemahaman terhadap ayat dan hadits secara partial menyebabkan sempitnya sudut pandang terhadap ajaran Islam itu sendiri. Misalnya, pemahaman terhadap hadits: ‘man ra’a munkaran fal yughayir biyadihi, wainlam yastati’ fabilisanihi, wainlam yastati’ fabiqalbihi, wazalika adh’aful iman’. Keyakinan bahwa derajat iman paling tinggi dalam hadits tersebut adalah ketika ada keberanian untuk merubah suatu kemunkaran dengan ‘tangan’ atau dengan kegiatan fisik. Maka jalan yang dilakukan adalah menghentikan satu kemunkaran dengan aksi fisik atau bahkan kekerasan. Hal ini tentu saja membiaskan konsep dasar dakwah dalam Islam yang menonjolkan hikmah (kebijaksanaan) dan mauidzah hasanah (nasihat-nasihat kebajikan)-(ud’u ilaa sabili rabbika bilhikmati wal mau idzhah hasanah).

Dalam sejarah Islam membuktikan bahwa motivasi terjadinya kekerasan atau perang beragam. Pada jaman Nabi Muhammad SAW. peperangan terjadi dengan tujuan pertahanan diri dari serangan luar, kesetaraan, dan keadilan ekonomi. Beberapa orientalist mengatakan bahwa sepanjang kenabiannya (23 tahun), Muhammad melakukan sedikitnya 80 kali peperangan. Wahiduddin Khan (n.d.) menyangkal asumsi ini dan menyatakan pada kenyataannya bahwa Nabi sepanjang kenabiannya melakukan perang hanya tiga kali, yaitu: Badr, Uhud, dan Hunayn. Jadi pada dasarnya Nabi sendiri berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan perdamaian karena ia berupaya untuk sebisa mungkin menghindari peperangan.

Pada jaman Khulafa al-Rasyidin,motivasi terjadinya peperangan mulai meluas. Pada jaman Abu Bakar, perang pada dasarnya dilakukan untuk menegakkan ajaran Islam dan ekoonomi seperti upaya memerangi pembangkang yang tidak mau membayar zakat. Tujuan perang di masa Umar bin Khattab mulai melebar karena ia berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaan Islam di semenanjung Arabia. Sementara dua khalifah terakhir sibuk mengurusi perebutan kekuasaan diantara mereka dan pengikutnya.

Kekerasan dalam bentuk peperangan berlanjut ketika dua keluarga besar Islam muncul dalam sejarah. Dinasti Abbasiyah dan Umayyah adalah dua kekuatan besar Islam yang dalam sejarahnya banyak melakukan perang untuk perluasan wilayah Islam dan pertahanan wilayah Islam itu sendiri. Menurut saya, kenyataan ini bukanlah hal yang ‘luar biasa’ dalam artian bahwa pada jaman tersebut peradaban masih didominasi oleh kekuatan senjata. Jadi perang yang dilakukan oleh umat Islam tidaklah anomaly dari peradaban yang berlaku pada saat itu. Terbukti pada jaman selanjutnya antara Islam dan dan penganut agama Kristen melakukan perang yang sangat lama hampir satu abad ketika terjadinya Perang Salib.

Kedekatan potensi kekerasan dala Islam sering kali muncul karena kesalahan interprestasi akan kata jihad. Di bawah ini akan kita bahas sedikit tentnag kata jihad itu sendiri.

Jihad

Kata jihad berarti: berusaha, berjuang, dan berperang. Akan tetapi makna jihad sering mejadi sempit pada arti yang terakhir atau ‘perang’ sehingga panggilan untuk berjihad sering diartikan panggilan untuk berperang. Tak dapat dinafikan bahwa Al-Qur’an memang menyuruh umat Islam untuk mengangkat senjata pada surat al-Hajj (22): 39.

“Diizinkan (berperang) bagi orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Maha Kuasa menolong mereka itu.”

Dalam hal ini Al-Qur’an mengajarkan bahwa setidak ada dua tujuan utama untuk berjihad atau perang, yaitu: pertahanan diri-self defense (9: 13) dan perlawanan terhadap penekanan-protection from oppression (2: 190-195) (Badawi 2006; Khan n.d.). Jadi tidaklah seorang muslim berangkat mengangkat senjata untuk berperang atas nama Islam kecuali demi dua tujuan kuat diatas.

Akan tetapi Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa jihad tidak hanya memerangi orang lain. Dalam hal memerangi diri sendiri (jihadun nafs) juga termasuk kategori jihad. Dr. Jamal Badawi (2006) mengatakan bahwa Al-Qur’an surat Al-Hajj: 77-78 berisi anjuran jihadun nafs. Jihadun nafs berarti perjuangan melawan syaitan dan kelemahan-kelemahan diri sendiri (self purification).

Jadi pemaknaan yang sempit terhadap kata jihad menyebabkan pembiasan kata jihad dalam kehidupan umat Islam itu sendiri. Dalam konteks ini perang sering diartikan dengan membunuh orang non-muslim meskipun dengan cara membunuh diri sendiri (baca: bom bunuh diri). Bukankah al-Qur’an juga menyuruh kita untuk menjaga diri sendiri dari kerusakan diri kita sendiri (walaa tulkuu bi aidiikum ila attahlukah).

Islam dan kekerasan di Indonesia

Tak dapat dipungkiri bahwa kejadian 11 September 2001 merupakan salah satu pemicu maraknya kekerasan di dunia Islam, khususnya di Indonesia. beberapa hal yang menjadi faktor dominant terhadap munculnya kekerasan pada umat Islam Indonesia adalah: Pertama, kemarahan atas kebijakan luar negeri Amerika Serikat (Esposito, dikutip oleh Ahnaf n.d.), sebagai ‘polisi dunia’, yang tidak seimbang dan bahkan double standard. Hal ini tentu saja memancing semangat ‘jihad’ kelompok tertentu sehingga mereka me-response dengan tindakan-tindakan radikal dan keras. Kedua, politik keterbukaan sebagai konsekuensi dari jatuhnya Suharto menyebabkan menjamurnya kelompok-kelompok garis keras dalam Islam. Abuza (2007, p. 1) mengatakan bahwa di fase reformasi ini, Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dalam pertumbuhan civil society namun di sisi lain muncul pula “uncivil” society. Apakah kelompok radikal Islam ini adalah kelompok “uncivil” society seperti yang dimaksud Abuza? Bila barometer civil society yang dimaksud adalah masyarakat yang menghormati hak-hak azasi manusia dan kebebasan individu yang berdasar pada Piagam PBB maka tidak bisa dingkari kelompok ini termasuk didalamnya tetapi mungkin akan berbeda pandangan dengan platform kelompok-kelompok garis keras tersebut.. Ketiga, pendiskriminasian berita tentang Islam pada media massa menyebabkan pembentukan opini yang tidak seimbang tentang Islam. Hal ini tentu saja menyulut sentiment-sentiment emosionil umat Islam, seperti pada kasus tentang kartun Nabi Muhammad.

Kiranya gambaran umum tentang Islam dan kekerasan di Indonesia secara singkat bisa kita lihat diatas. Tetapi setiap kasus kekerasan baik etnis dan agama akan sangat tepat untuk dijawab dengan analisa kasuistik, seperti di Maluku, Poso, Ahmadiyah, dan sebagainya.

Senin, 09 Februari 2009

Feel Fiqih Social

Feel Fiqih Social

KH. MA. Sahal Mahfudh, LKiS, March 2007 - cet. iv, viii + 384

Source: www.nu.or.id

KH. MA. Sahal Mahfudh (Rais Aam PBNU) is a specialist fiqih (Islamic law). Kepiawaiannya in the field of Islamic law that there is no doubt. Since young, as if he already terprogram for the ushul fiqih science, Arabic language, and social science.

This fact can not be clearly separated from the family. Kiai Sahal was born of a family of boarding, on 17 December 1937. Therefore, small sedari he grew up and educated in the spirit of maintaining control of science degree-traditional religious sciences. Moreover, under his father's own upbringing, Kiai Mahfudh Salam, who is also a powerful Kiai, cousin and brother deceased Rais Aam NU, Kiai Syansuri Bisri.

After that, then Sahal Kiai Kiai nyantri to Muhajir in Kediri and Al-Zubair Sarang Kiai, Lasem. Found himself in the tradition of absolute loyalty to the law in the books fiqih and total harmony with the moral ideal that demanded of traditional scholars. Or in term boarding, have the spirit tafaqquh (deepen knowledge of religious law) and the spirit tawarru '(licentious noble).

No wonder if Kiai Sahal-term borrowing Gus Dur-ago 'to cock' since a young age. Not even 40 years of age, has shown itself powerful ability in the forums fiqih. Evidenced in the various council Bahtsu Al-Masail held three monthly Syuriah NU Central Java, ai already active in it.

Sejatinya this book is a summary of some (only) any posts Kiai Sahal into the various pages in the newspapers, scientific journals, papers and seminars. In many instances, Kiai Sahal always invite the community to understand the contextual fiqih. According to him, the assumption formalistik against fiqih is still a latent problem, not so rare-fiqh in this book is considered a yellow-second after the holy book of Al-Qur'an that must be treated as the norm can not be dogmatic and inviolable. Therefore, dig fiqih the nuances of social order is very urgent. What is social fiqih?

In short can be defined, fiqih social paradigm based on the belief that fiqih must be read in context and the solution needs three kinds of men, the primary needs (dharuriyah), the secondary needs (hajjiyah), and tertiary needs (tahsiniyah). Fiqih not just as a social tool to view every issue from the eyes of black and white glass, as I view fiqih we find that common, but more fiqih social fiqih place as a social paradigm pemaknaan.

As the results that have been formulated from a series of halaqah work with NU Rabithah Ma'ahid Islamiah (RMI) and The Development of Pesantren and Society (P3M), social fiqih has five basic characteristics that prominent: First, the interpretation texts fiqih contextually. Second, the pattern changes bermadzhab, from the textual bermadzhab (qauli) bermadzhab to the metodologis (manhaji). Third, verification fundamental teachings which the principal (ushul) and where the teachings of the branches (furu '). Fourth, fiqih are presented as social ethics, not a positive state law. Fifth, the introduction metodologis philosophical, mainly related to cultural and social.

In view of Kiai Sahal, the idea is not too excessive. Not yet the understanding of contextual meaning and refuse to leave the fiqih absolute. Thus with such an understanding, all aspects of behavior kehidupoan will be able terjiwai by fiqih the conceptual and does not deviate from the rail fiqih itself. At least, the book fair will not only be fancied by the santri, but also by anyone who is interested in the reference Islamic thought.

Can not be denied, this idea appears along the rising anarchy pemaknaan social-politics in Indonesia. Fiqih thought, would not want to, and the shift: fiqih as a paradigm of truth ortodoksi become pemaknaan social paradigm. If the first subdue reality to the truth fiqih, then the second fiqih use as a counter discourse in the wilderness pemaknaan ongoing. If the first show of black and white character in respect of reality, then the second show wataknya the nuances, and sometimes in the complex reality.

Nah, Kiai Sahal social fiqih dig it out of real struggle between religious truth and social reality that is still lame. A real test for the relevance of religion in the life of an actual order terbentuknya character fiqih the social nuances.