Rabu, 28 Januari 2009

Kebahagiaan itu menjalar

Kebahagiaan itu menjalar, demikian yang dilaporkan para peneliti. Tim yang sama yang membuktikan penderita obesitas dan perokok yang tersebar dalam suatu jaringan telah menunjukkan bahwa semakin berbahagia orang yang Anda kenal, mungkin Anda sendiri akan semakin merasa bahagia.

Dan berhubungan dengan orang-orang yang berbahagia akan meningkatkan kebahagiaan seseorang, tulis mereka dalam British Medical Journal.

“Apa yang sedang kita hadapi adalah dorongan emosi,” kata Nicholas Christakis, seorang profesor dari sosiolog medis di Harvard Medical School di Boston, dalam suatu wawancara telepon. Christakis dan seorang ilmuwan politik di University of California, San Diego, bernama James Fowler, tengah memakai data dari 4,700 sukarelawan anak di Framingham Heart Study, penelitian kesehatan dalam skala besar di Framingham, Massachusetts, sejak 1948.

Mereka tengah menganalisa fakta-fakta berharga melalui penelusuran kembali lembar-lembar ijazah mulai 1971, mengikuti data kelahiran, perkawinan, kematian, dan perceraian. Sukarelawan juga memberikan daftar informasi kontak sahabat-sahabat terdekat, teman-teman kerja, dan tetangga mereka. Mereka mengukur kebahagiaan dengan menggunakan empat pertanyaan sederhana. “Mereka ditanya seberapa sering dalam satu minggu ini, pertama, saya menikmati hidup, dua, saya merasa bahagia, tiga, saya merasa penuh harapan mengenai masa depan, dan empat, saya merasa bahwa saya sama baiknya seperti orang lain,” kata Fowler. 60 persen orang dengan skor tinggi pada keempat pertanyaan tersebut dikategorikan ‘bahagia’, sedang sisanya dikategorikan pada ‘tidak bahagia’.

Koneksi kebahagiaan yang merata

Data menunjukkan, orang yang memiliki hubungan sosial baik itu teman, pasangan, tetangga, keluarga yang luas, juga merupakan orang yang paling berbahagia. “Setiap kebahagiaan ekstra yang dimiliki seseorang membuat Anda lebih berbahagia,” kata Christakis. “Bayangkan bila saya terhubung dengan Anda, dan Anda terhubung ke orang lain dan orang lain terhubung ke orang lain lagi. Ini seperti tenunan ras manusia, seperti selimut quilt (potongan-potongan kain yang dijahit menjadi selimut) Amerika.”

Masing-masing orang duduk dalam satu warna patch yang berbeda. “Bayangkan bila patch yang disini bahagia dan patch yang di sana tidak bahagia. Kebahagiaan Anda tergantung pada patch yang sedang berlangsung di sekeliling Anda,” lanjut Christakis. “Ini bukan hanya masalah antara orang bahagia yang berkaitan dengan orang bahagia lainnya, seperti yang mereka lakukan. Di atas dan di luar hal tersebut, ini sedang berlangsung suatu proses penjalaran.” Dan mereka menemukan bahwa kebahagiaan lebih menjalar dibandingkan ketidak-bahagiaan.

“Jika kontak sosial di sekitar Anda bahagia, hal itu akan meningkatkan kemungkinan Anda berbahagia sebesar 15 persen,” kata Fowler. “Teman dari seorang teman, atau teman dari pasangan atau saudara kandung, jika mereka bahagia, akan meningkatkan kesempatan Anda berbahagia sebesar 10 persen,” tambahnya. Kebahagiaan teman peringkat tiga-teman dari temannya seorang teman-akan meningkatkan kesempatan seseorang menjadi bahagia sebesar 6 persen. “Namun setiap ekstra ketidak-bahagiaan teman meningkatkan kemungkinan Anda merasa tak bahagia sebesar 7 persen,” jelas Fowler. Penemuan ini menarik, tetapi juga bermanfaat, lanjut Fowler.

“Diantara manfaat-manfaat lain, kebahagiaan telah menunjukkan pengaruh penting atas pengurangan angka kematian, pengurangan rasa sakit, dan meningkatkan fungsi jantung. Jadi pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kebahagiaan menyebar dapat membantu kami mempelajari bagaimana mempromosikan masyarakat yang lebih sehat,” sahutnya lagi.

Penelitian ini juga sesuai dengan data lain pada 1984 yang menunjukkan bahwa dengan memiliki tambahan uang sebesar US $ 5,000 (setara 57,5 juta rupiah) akan meningkatkan kesempatan seseorang menjadi lebih bahagia sekitar 2 persen. “Seorang teman yang berbahagia bernilai sekitar US $ 20,000 (setara 230 juta rupiah),” tutup Christakis. Timnya juga sedang meneliti penyebaran depresi, kesepian, dan kebiasaan mabuk. (Reuters/feb)

Tidak ada komentar: