Dengan sedikit memaksa ku acuhkan rasa malas yang menyelimuti tuk nikmati dan rasakan sejuk embun pagi ini. Matapun terbelalak memenuhi panggilan sang surya, dengan kehangatannya ia tebarkan benang-benang kasih yang berjuta melalui sentuhan cahayanya. timur-barat, utara-selatan, adalah jalur yang selalu ia tempuh tuk beri kehangatan ke seluruh alam. Manusi, hewan, tumbuhan dan alam seluruh tak luput dari gandeng tangannya.
Waktupun telah berputar lebih jauh dan mentaripun mulai meninggi hingga empat puluh
Matahari telah samapi diatas ubun kepala dengan sengatan terik yang menyiksa, ku langkahkan kaki dengan gontai tuk tapaki sebuah jalan terjal berliku penuh paku tuk menuju kesebuah peristirahatan dari prjalanan yang melelahkan. Di sebuah meja bundar ku duduk melipat tangan bak anggota dewan yang sedang bersidang, mereka ribut soal undang-undang yang semua itu tidak pro pada penghuni gubuk reot yang hampir tumbang. Ku memesan makan bak seorang raja tinggal tunjuk dan tinggal makan tanpa ingin tahu bagaimana makanan itu disajikan, rasa lapar membutakan ku dalam kenikmatan rasa dahaga melenakan aku dalam kesejukan hingga ku tak sadar jerit dan tangis kaum tragis yang busung lapar. Mendadak selerapun hilang kala datang seorang pengemis kecil dengan bermacam keluha yang mengadu, suara rintih nan lirih menusuk dalam hati, dan raut wajah yang kelam terbalut derita hidup yang memperihatinkan. Sontak dalam benak teringat masa ketika kecilku yang terlewati dengan sedikit indah (dibanding pengemis kecil itu), meski tak banyak bahagia yang dapat kurasa namun ku bersyukur jalan cerita kecilku tak sama dengan cerita pengemis kecil itu.
Tak terasa sejampun waktu berlalu habiskan masa istirahatku, kembali, ku bergulat dengan kesibukan yang hampir tak tentu dan membosankanku, beraduh pandang dengan cahaya monitor tajam yang menyakitkan. Otakpun kembali berputar bak baling-baling kapal pesiar dan melabuhkanku di tepi waktu yang memisahkan siang dan malam.
Bekenly
12 Juni 2008